Penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1960-an, dan telah berganti undang-undang sebanyak 4 kali, dan terakhir dengan UU Nomor 20 tahun 2001. Sekalipun pergantian undang-undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasan korupsi tetap sama. Secara filosofis, peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan suatu cita bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan RI yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan diadopsi ke dalam sila kelima dari Pancasila.
Oleh karena itu setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita bangsa. Akan tetapi sebagai suatu negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum dan seoptimalnya dilandaskan kepada cita keadilan sebagai cita hukum sejak zaman yunani. Landasan yuridis, adalah UUD 1945 sebagai ”grund-norm” ( hukum dasar ) yang seharusnya diwujudkan ke dalam suatu UU yang mencerminkan cita dan tujuan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Perlu dikaji sejauh mana UU Pemberantasan Korupsi ( UUPK ) telah mencerminkan asas-asas hukum dan cita hukum dimaksud, akan diuraikan dalam tulisan ini.
Landasan sosiologis dari penegakkan hukum pemberantasan korupsi adalah bahwa, kemiskinan yang melanda kurang lebih 35-50 juta penduduk Indonesia masa kini adalah disebabkan karena korupsi yang telah bersifat sistemik dan meluas ke seluruh lapisan birokrasi ( 30 % dana APBN terkuras karena korupsi ), dan tidak lepas dari pengaruh timbal balik antara birokrasi dan sektor swasta.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak ( urgent needs ) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakkan hukum pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan.
Bertolak dari ketiga landasan politik pemberantasan korupsi di Indonesia di atas jelas bahwa, langkah penegakkan hukum pemberantasan korupsi merupakan kewajiban bersama bukan hanya penegak hukum melainkan juga seluruh komponen bangsa dengan bimbingan dan tauladan para pemimpin bangsa ini mulai dari Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, wakil presiden sampai kepada pimpinan birokrasi di daerah, lembaga legislatif dan yudikatif.
Tidak kurang pentingnya peranan masyarakat sipil ( civil society-cso ) dalam mendorong, monitoring dan evaluasi keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun demikian sesuai dengan landasan yuridis terutama UUD 1945 khususnya berkaitan dengan hak asasi setiap warga negara ( Bab XA Pasal 28 D ) maka langkah penegakkan hukum pemberantasan korupsi juga seharusnya dapat menjamin dan memelihara proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa serta terpidana korupsi, selain peningkatan efektivitas dan keberhasilan pemberantasan korupsi tersebut.
Merujuk kepada uraian di atas, dan berkaitan dengan masalah hukum yang dipandang dilematis dan kontroversial di dalam penerapan UU PK selama ini, maka perlu dijelaskan bahwa posisi dan peran Kitab UU Hukum Pidana ( lege generali ) dan UU PK ( lex specialis ) di satu sisi, dan UU administratif yang diperkuat dengan ketentuan pidana( lex specialis systematic ).
Di dalam KUHP, Pasal 63 ayat (1) ditegaskan jika suatu tindak pidana masuk ke dalam dua peraturan pidana, maka peraturan pidana dengan ketentuan pidana yang lebih berat, yang harus diberlakukan ( asas concursus idealis ). Di dalam ayat (2) ditegaskan lebih jauh bahwa, jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang akan dikenakan.
Dalam praktik, suatu tindak pidana korupsi yang berasal dari aktivitas perbankan, pasar modal atau di bidang pajak, telah banyak yang diterapkan ketentuan pasal tersebut sehingga kemudian dituntut dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi. Penuntutan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan UU Pemberantasan Korupsi ( UU PK ) yg berlaku ( UU Nomor 31 tahun 1999 ) sebagai lex specialis.
Sesuai dengan asas ”lex specialis derogat lege generali” maka UU PK 1999 itu yang harus diterapkan sekalipun perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pidana menurut KUHP ( seperti delik jabatan ) khusus jika delik jabatan tersebut kemudian menimbulkan kerugian negara.
Akan tetapi terhadap UU LAIN selain UU PK, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 UU PK 1999; maka penerapan UU PK terhadap pelanggaran ketentuan pidana di dalam UU lain masih dimungkinkan jika di dalam UU lain itu, ditegaskan bahwa pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana korupsi.
Penafsiran hukum a contrario atas ketentuan Pasal 14 mengandung makna bahwa, jika di dalam UU lain itu, pelanggaran atas ketentuan pidana tidak ditegaskan sebagai tindak pidana korupsi maka ketentuan pidana di dalam UU lain itu yang diberlakukan bukan UU PK 1999.
Logika hukum yang terjadi adalah, bahwa Pasal 14 UU PK 1999 jelas telah membatasi pemberlakuan Pasal 63 ayat (1) KUHP/asas concursus idealis tersebut. Pasal 14 UU PK 1999 menegaskan bahwa UU PK tidak berlaku terhadap setiap dugaan tindak pidana korupsi atas suatu perbuatan yang terjadi di dalam aktivitas yang dilindungi oleh suatu UU lain ( UU Perbankan, Perpajakan atau Pasar Modal ).
Pembatasan ini dimungkinkan, karena pertama UU PK 1999 merupakan lex specialis, sedangkan KUHP merupakan lege generali. Kedua, pembatasan ini sejalan dengan bunyi Pasal 103 KUHP, yang menegaskan bahwa pemberlakuan Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Ketentuan Pasal 103 KUHP menegaskan, bahwa UU pidana khusus yang dibentuk dapat menyimpangi ketentuan dalam Buku Kesatu KUHP termasuk asas hukum, concursus idealis, sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. Hal ini harus diartikan bahwa, ketentuan Pasal 14 UU PK 1999 mengenyampingkan ketentuan Bab Kesatu, Pasal 63 ayat (1) KUHP. Dalam praktik, ketika JPU dihadapkan kepada pilihan ketentuan pidana yang seharusnya diterapkan, JPU tidak konsisten terhadap pijakan UU Nomor 31 tahun 1999 dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi dan justru kembali menggunakan ketentuan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagai lege generali. Seharusnya, sejalan dengan Ketentuan Pasal 103 KUHP, JPU tetap menerapkan ketentuan Pasal 14 UU PK 1999, dan tidak mengajukan dakwaan tindak pidana korupsi, melainkan diajukan dakwaan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam UU lain itu seperti, ketentuan pidana dalam UU Perbankan, UU Pajak, UU Pasar Modal dan lain-lain.
Begitupula para Majelis hakim pengadilan tipikor segera menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena telah menyimpang atau bertentangan dengan bunyi Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 yang nota bene menjadi dasar hukum dakwaan JPU itu sendiri. Bahkan para penasehat hukum terdakwa yang dituntut tindak pidana korupsi, seharusnya sejak awal mengajukan eksepsi atas dasar hukum pasal 14 tadi. Namun di dalam praktik, eksepsi tidak dilakukan; dakwaan tetap diajukan; dan perkara tindak pidana korupsi yang diajukan tetap terus diperiksa dan diputus pengadilan sampai kepada tingkat kasasi atau PK. Peristiwa tersebut telah berlangsung hampir 35 tahun lebih. Sesungguhnya politik hukum pemberantasan korupsi, berdasarkan UU PK tahun 1999 dan tahun 2001, apalagi dengan Putusan MK mengenai unsur melawan hukum yang harus ditafsirkan secara formil dan sudah sangat jelas.
Para penegak hukum konsisten seharusnya menafsirkan secara komprehensif dengan ketentuan dalam UU PK 1999 dan UU PK 2001, dan mengoptimalkan peranan filsafat hukum dan logika hukum. Penulis, yang turut aktif menyusun UU PK 1999 dan tahun 2001, menekankan bahwa, dengan penafsiran hukum yang memadai atas rumusan ketentuan UU PK 1999, disertai dengan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang sesuai jiwa bangsa Indonesia sebagaimana dimuat dalam UUD 1945, maka politik hukum pemberantasan korupsi telah berada dalam jalan yang benar.
Politik pemberantasan korupsi dimaksud adalah pertama, memelihara dan mempertahankan cita keadilan sosial dan kesejahteraan bangsa di dalam negara RI sebagai negara hukum sebagai landasan filosofis; memelihara dan melindungi hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ( Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 ) sebagai landasan penegakkan hukum. mempertahankan fungsi hukum pidana khususnya UU PK 1999 dan 2001 sebagai landasan operasional yang lebih mengutamakan keseimbangan fungsi pemelihara ketertiban dan keamanan di satu sisi, dan fungsi penjeraan / penghukuman di sisi lain di atas landasan asas-asas hukum pidana : lex specialis derogat lege generali, asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas, dan last but not least, memperankan hukum pidana ( UU PK ) sebagai ultimum remedium ( bukan primum remedium ) terutama dalam menghadapi kasus-kasus tindak pidana LAIN yang bukan merupakan tindak pidana korupsi ( murni ) serta ( lex specialis systematic ).
Tindak pidana yang murni merupakan tindak pidana korupsi adalah ketentuan Pasal 3 UU PK 1999 dan Pasal 12 B UU PK 2001. Sasaran UU PK sejak awal kelahirannya termasuk di semua negara, ditujukan terhadap para pemangku jabatan public bukan terhadap setiap orang. Sesuai dengan namanya, ”korupsi”, sesungguhnya yang berarti perilaku koruptif, hanya dikenal dalam ranah pejabat publik ( pemegang jabatan publik ) bukan pada pada setiap orang sebagai adresat pemberantasan korupsi pada awal mulanya.
Adapun jika ada orang lain selain, pejabat publik yang turut melakukan tindak pidana korupsi, telah ada ketentuannya di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Penempatan Pasal 2 UU PK tahun 1999 merupakan kebijakan hukum yang bersifat kasuistik dan kondisional, sesungguhnya tidak patut dirumuskan sebagai norma baru dan tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar